FILSAFAT ILMU PARADIGMA REVOLUSI SAINS THOMAS S. KUHN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharuan yang mampu mewujudkan pemikirannya sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, terdapat pendekatan ilmiah positivistik dan non-positivistik. Pada perkembangan filsafat ilmu  dalam memahami beberapa kerangka teori keilmuwan dan paradigma keilmuwan,  terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu. Istilah paradigma menjadi begitu popular setelah diperkenalkan oleh tokoh filsafat terkenal Thomas Kuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution, University of ChicagoPress, Chicago,1962 yang membahas mengenai Filsafat Sains. Dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif melainkan terjadi secara relatif. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah: Paradigma I ( Normal Science,Anomalies &Crisis,Revolusi).
Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis (“anomalies”), kepercayaan terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang demikian menjadi kurang berwibawa.  Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fundamental tentang konsep ilmu terutama ilmu sains yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Thomas Kuhn?
2.      Apa yang disebut Paradigma Revolusi  Sains ?
3.      Bagaimana pemikiran  dan tahapan proses Teori Revolusi Paradigma Thomas Kuhn?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui siapakah Thomas Kuhn
2.      Untuk mengetahui apa yang disebut Paradigma Revolusi Sains
3.      Untuk mengetahui bagaimana pemikiran  dan tahapan prosesTeori Revolusi Paradigma Thomas Kuhn
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Oiho, Amerika Serikat. Thomas Kuhn merupakan filsuf pada era abad ke-20. Pada tahun 1949 Kuhn mendapat gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Havard University. Di universitas Harvad, ia diangkat menjadi asisten dosen bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu. Kemudian pada tahun 1956, Kuhn mendapat tawaran menjadi dosen sejarah sains di Universitas California. Tahun 1964, ia mendapat gelar Guru Besar dari Princenton University dalam bidang sains dan filsafat. Selanjutnya, tahun 1983 ia dianugerahi sebagai professor dari Massachusetts Institude of University.
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Thomas Khun ialah salah seorang filsuf sains yang menekankan pentingnya sejarah sains dalam perkembangan sains.[1] Khun merupakan tokoh yang beraliran analitis, minat utama pemikirannya terletak pada filsafat sains, dan ia memiliki gagasan utama yaitu pergeseran paradigma. Pemikiran dari Thomas Kuhn dipengaruhi oleh beberapa tokoh, antara lain : Immanuel Kant, Alexandre Koyre, Michael Polanyl, J.H.V. Vieck Gaston Bachelard, Jean Piaget, Bertrand Russell, dan Karl Popper. Pemikirannya tentang filsafat sains mempengaruhi tokoh-tokoh yang muncul berikutnya, seperti Paul Feyerabend, Imre Lakatos, dan Richard Rorty. Thomas Kuhn meninggal dunia pada tanggal 17 Juni 1996 (umur 73 tahun) di Cambridge, Messachusetts karena menderita penyakit kanker selama beberapa tahun sebelumnya. Adapun karya dari Thomas Kuhn yang sangat popular yaitu The Structure of Scientific Revolutions. Buku ini telah diterjemahkan dalam 16 bahasa yang kemudian menjadi sebuah buku yang direkomendasikan menjadi bahan bacaan dalam proses pembelajaran.[2]

B.     Paradigma Revolusi Sains
Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika terwujud, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan.[3]
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering terjadi perubahan konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.[4]
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak terlalu memperhatikan dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis.[5] Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika terwujud, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan.
Keberhasilan sebuah paradigma misalnya analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah perwujudan akan keberhasilan yang dapat ditemukan sebelumnya, contoh-contoh pilihan  yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus. Contoh lain tentang hal ini, misalnya bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu wujud mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya yang hanya berumur setengah abad dan berakhir ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih “unggul” yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.[6]

C.    Pemikiran dan Tahapan Proses Teori Revolusi Paradigma Thomas Kuhn
Pada zaman Yunani Kuno, ilmu dan filsafat sulit dipisahkan karena pembuktian-pembuktian empiris (pengalaman) dan metode penelitian masih sangat kurang dilakukan. Namun, dengan perkembangan nalar manusia akhirnya cabang-cabang ilmu mulai memisahkan diri dari filsafat dengan begitu ilmu kini terus berkembang. Hal ini terkait dengan definisi umum yang didasarkan pada apa yang dikerjakan oleh ilmu itu dengan melihat metode yang digunakannya.
Menurut Kuhn, seorang ilmuwan harus bekerja dengan paradigma tertentu. Karena dengan adanya paradigma para ilmuwan akan terbantu memecahkan masalah yang muncul ketika melakukan penelitian akan ilmu, sampai akhirnya muncul anomali-anomali yang tidak dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya dan menuntut adanya revolusi paradigmatik. Kuhn menegaskan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya lebih mencirikan pada paradigma dan revolusi yang menyertainya.[7] Pemikiran Thomas Kuhn ini merupakan pemberontakan akan paradigma positivisme. Seorang ilmuwan itu harus fokus pada satu bidang saja sehingga mampu memecahkan teka-teki yang ada didalamnya. Dengan itu Kuhn menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak lepas dari faktor ruang dan waktu. Menurut Kuhn cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah digambarkan dalam tahap-tahap sebagai berikut :
1.         Paradigma dan Normal Science
Menurut Kuhn, normal science atau ilmu normal merupakan kegiatan penelitian yang berdasarkan pada satu atau lebih pencapaian ilmiah. Ilmu normal memiliki ciri yang esensial :
a.                Pencapaian ilmiah cukup baru
Maksunya yaitu pencapain tersebut belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat menghindarkan kelompok penganut yang kekal dari mempersaingkan cara melakukan kegiatan ilmiah.
b.            Pencapaian ilmiah yang cukup terbuka
Maksudnya yaitu adanya keterbukaan antar anggota kelompok pempraktik terkait adanya berbagai masalah yang hadir sehingga dapat dipecahkan bersama.[8]
Dengan begitu, pencapaian yang memiliki kedua karakteritik diatas disebut sebagai “paradigma”. Pengertian paradigma dilihat dari asal katanya : Paradigma berasal dari bahasa inggris “paradigm”. Dari bahasa Yunani para deigma (para artinya di samping, di sebelah) dan dekynai artinya memperlihatkan: yang berarti model, contoh, arketipe, ideal). Jadi paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah. Wacana disini menurut Kuhn merupakan wacana untuk temuan ilmiah baru.
Paradigma menurut Kuhn adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaan apa yang harus dimunculkan, bagaimana merumuskan pertanyaan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawabannya. Paradigma adalah konsensus terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas lainnya. Paradigma terkait dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah, teori, metode, serta instrumen yang tercakup didalamnya.[9]
Paradigma menurut Kuhn mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.)    Dasar munculnya tradisi-tradisi penelitian ilmiah secara koheren (masuk akal).
2.)    Pencapaian hasil-hasil ilmiah yang diakui secara umum.
3.)    Cara memandang dunia dari segi ilmu tertentu.
4.)    Kumpulan teori dan teknik yang sesuai dengan pemecahan masalah.
5.)    Perpaduan teori dan metode untuk mewujudkan sesuatu yang mendekati pandangan dunia.
6.)    Matrik disipliner, yakni keseluruhan kumpulan keyakinan, model, nilai, komitmen, teknik dan eksemplar yang dianut oleh anggota komunitas ilmiah tertentu.
7.)    Eksemplar, yaitu model atau penyelesaian (solusi) teka-teki masalah ilmiah.
Dengan penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn akan menunjuk pada praktik ilmiah dimana dalam suatu komunitas ilmiah itu harus mencakup dalil, teori, penerapan, dan instrumental yang didasarkan pada paradigma dan standar aturan yang sama. Aturan-aturan itu menjadi prasyarat bagi adanya ilmu normal. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal penyelidikan adalah sejarah ilmu. Menurutnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam ilmu karena adanya revolusi ilmiah.
2.         Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Anomali merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara kenyataan dengan paradigma atau dasar yang digunakan dalam suatu penelitian. Ketika anomali-anomali ini bermunculan maka paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan dan akhirnya para ilmuwan mulai keluar dari ilmu normal.[10] Anomali lahir dari para peneliti yang benar-benar ingin mencari kekurangan dari normal science (ilmu normal). Kumpulan anomali ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam memunculkan penemuan-penemuan baru. Dengan adanya anomali-anomali ini membuat para peneliti lebih kritis  dalam penelitiannya dan merupakan prasyarat bagi penemuan baru yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Terkait dengan penelitian yang mengacu pada penemuan baru, Kuhn membagi kegiatan penelitian ilmiah menjadi dua yaitu :
a.       Puzzle solving
Maksudnya disini adalah seorang ilmuwan mencoba melakukan observasi guna memecahkan teka-teki bukan untuk mencari kebenaran dari objek yang diteliti. Apabila paradigma tidak dapat menyelesaikan masalah dan malah menambah konflik maka haruslah diciptakan paradigma baru.
b.      Penemuan paradigma baru
Maksudnya yakni penelitian ditujukan pada penemuan-penemuan baru, dan jika penemuan tersebut berhasil maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, penemuan baru diawali dengan adanya kesadaran akan anomali yakni pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal.[11]
3. Revolusi Sains
Munculnya revolusi sains karena adanya anomali-anomali yang semakin parah dan adanya krisis yang tidak dapat terpecahkan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Terjadinya revolusi sains bukan hal yang mulus tanpa hambatan. Revolusi sains merupakan episode suatu keadaan perkembangan non-kumulatif dimana didalamnya terdapat pergantian sebagian atau keseluruhan paradigma lama dengan paradigma baru yang bertentangan. Ilmu pengetahuan baru harus menggantikan ketidaktahuan, dan bukan menggantikan jenis pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Oleh karena itu menurut Kuhn perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif atau evolusioner, tetapi secara revolusioner yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih dapat memecahkan masalah untuk masa depan. Melalui revolusi sains inilah menurut Kuhn revolusi akan terjadi.
Apabila paradigma baru dapat diterima dan dapat bertahan dalam kurun waktu tertentu, maka ilmu tersebut akan menjadi ilmu normal yang baru, dan kemungkinan akan ditemukan anomali-anomali dan terjadi krisis baru begitu seterusnya. Menurutnya tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan. Sehingga konsekuensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu. Ilmu pengetahuan di dunia berkaitan dengan paradigma. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia. Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.
Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif. Di samping itu teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade, gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
Latif, Mukhtar, 2014, Orientasi Kearah Pahaman Filsafat Ilmu, Jakarta, Kencana.
Rizal Mustansyir, Misnal Munir. 2012.  Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Jaya.
Aiken, Henry D. 2002. Abab Ideologi.Jakarta: Bentang.
Hikam, AS. 2001. Demokrasi dan Civil Society. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Russell, Bertrand. 2002. Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka pelajar.
Sofyan, Ayi. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung : Pustaka Setia.
Thomas S. Kuhn. 1993. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Akhyar Lubis. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Depok : Rajagrafindo Persada.





[1] Mukhtar Latif, Orientasi Kearah Pahaman Filsafat Ilmu, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 138-139.
[2] Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka Jaya Yogyakarta, 2012, hlm. 125.
[3] Henry D. Aiken, Abab Ideologi. , Bentang, Jakarta, 2002, hlm. 24.
[4] AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 32.
[5] Ibid., hlm 34.
[6] Bertrand Russell,  Sejarah Filsafat Barat, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 14.
[7] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat,  Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 158.
[8] Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung 1993, hlm. 10.
[9] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Rajagrafindo Persada,Depok, 2014, hlm. 165
[10] Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka Jaya, Yogyakarta, 2012, hlm. 155.
[11] Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 53.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN RI

MAKALAH KODIFIKASI HADITS